(Kukira) Aku akan menetap di Bali

Jam tanganku menunjukkan waktu pukul 17.04 WITA. Aku harus bergegas pulang ke kos, supaya tidak terlambat ke bandara. Hari ini, Kamis ini, adalah jadwalku pulang ke Jakarta. Pesawatku pukul 21.50, masih cukuplah ambil koper dulu di kos.

Aku, Si Pejuang Long-Distance Marriage, punya jadwal rutin pulang ke Jakarta setiap hari Jum’at sore. Jum’at menjadi waktu yang sangat kutunggu-tunggu, karena akhirnya aku bisa bertemu lagi dengan Pak Suami. Rutinitas pulang-ke-Jakarta ini acapkali juga menjemukan.. Kalau weekdays sudah dilalui dengan sangat melelahkan, aku cenderung memutuskan untuk tidak pulang dan memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan di Pulau Dewata saja. Oh, saya akan bahas di tulisan lain ya mengenai “kenapa sih Ras kamu memilih long-distance?”

Hari ini hari Kamis. Aku meminta izin cuti tidak masuk besok, dan sesuai dugaan, bos yang baik hati itu selalu pengertian. “Boleh dong, kamu bahkan boleh ambil day off saja kalau memang capek dengan segala rutinitas kantor. Do something fun, do something you enjoy”. Oke deh. Menghabiskan long weekend di Jakarta sepertinya tidak fun, tapi di Jakarta nanti aku akan banyak memasak jadi itulah kegiatan yang aku anggap menyenangkan.

Pekerjaanku saat ini menuntutku untuk melakukan banyak perjalanan yang seru, ke tempat-tempat yang baru, dan bertemu orang-orang baru juga. Setiap kali aku melakukan perjalanan jauh berhari-hari, kos-kosanku di Bali selalu menjadi tempat paling nyaman untuk kembali. Sempit, adem, dan ada pojok dapur untuk memasak. Kebetulan kosku juga dekat dengan Lapangan Pegok, jadi aku bisa sesekali jogging untuk mengeluarkan keringat. This place feels like home to me.

Saat sudah menikah, aku perlahan memperkenalkan Bali pada suamiku. “Ini Bali, Bah.” Abah — begitu aku memanggil suamiku, kalau kamu belum tahu. “Di Bali ini beragam orang dari berbagai latar budaya dan agama, masjid juga ada. Dan yang pasti di sini tidak ada macet. Kamu pasti suka.” Aku mencoba meyakinkan Abah kalau Bali adalah tempat yang baik bagi kami berdua memulai rumah tangga.

Di Bali, aku memulai kehidupanku yang baru. Tidak ada teman dekatku atau keluargaku yang tinggal di Bali. Aku membentuk relung pertemananku yang baru. Tidak ada teman dekat Abah atau keluarga Abah yang tinggal di Bali juga. Adil, bukan? Kami akan membangun rumah tangga dari nol, kehidupan yang baru, berangkat dari zona tidak nyaman masing-masing. Deal.

…… not. Keadaan berubah seperti jalan layang Antasari. Mulus, tapi macet. Abah tinggal di Bali, tapi kehidupan keluarga kami tidak ke mana-mana. Aku bekerja seperti biasa, Abah mencari kerja seperti biasa. Karirku lancar, karir Abah tidak kemana. Sampai akhirnya kubilang “Abah boleh kalau mau cari kerja di luar Bali”. There you go, saat ini Pak Suami sudah berdomisili di Jakarta lagi.

Ibarat konsol PlayStation yang baru dimasukkan CD, saat ini aku sedang dalam tahap loading dengan logo PS yang muncul dan stuck sampai di situ saja. Roman-romannya sih aku akan pindah ke Jakarta, tinggal menunggu waktu. Oh well… What’s not to like about Bali sih? Apa salahnya kalau kita tinggal jauh dari zona nyaman kita, dari keluarga kita, dari pertemanan dan circle kita.

Pesawat yang kutumpangi akhirnya menjejakkan rodanya di landasan terbang Soekarno-Hatta. Abah sudah menjemputku di pintu kedatangan dan kami langsung pulang menuju rumah. Sesuai rencana, cutiku di Hari Jum’at kuhabiskan dengan memasak sambil menunggu Abah pulang kantor.

“Assalammualaikum, aku pulang”

“Waalaikumsalam, tauge gorengnya sudah jadi. Ada bakso juga.”

“Wah enaknya dimasakkin sama istri”

“Iya. Aku pikir kita akan selamanya tinggal di Bali berdua. Ternyata enggak, ya?”

Begitulah aku, jawabanku nggak nyambung. Kalimat itu keluar entah dari mulutku atau dari hatiku. Karena memang begitu, kupikir aku akan selamanya tinggal di Pulau Dewata. Kukira kami akan hidup dan menetap di Bali saja.

IMG_2411.JPG

Leave a comment